Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ansor Sayap Kiri


Oleh: Moh. Busri*


Ada banyak cara dalam mewujudkan kecintaan pada organisasi. Sebagian orang mengambil jalur kiri. Sebagian lagi lewat jalur kanan. Ada pula yang tidak ingin terlalu ekstrem, sehingga memilih aman di jalur tengah. Bahkan, ada yang sekadar mengikuti arus.

Tidak ada yang salah dari perbedaan ini. Justru kompleksitas tersebut dapat menjadi penyempurna untuk kekurangan yang lain. Namun yang jelas, tiap langkah memiliki konsekuensi masing-masing.

Diskursus ini mucul dari dialog sejumlah aktivis Gerakan Pemuda (GP) Ansor, di Kecamatan Pragaan, Sumenep. Ya, saya bertemu mereka di samping salah satu toko kelontong. Kebetulan, di sana ada tempat duduk yang cukup nyaman untuk berdiskusi.

Ada enam orang, termasuk saya, yang terlibat dalam dialog tersebut. Maaf, saya tidak bisa menyebutkan nama mereka secara terang-terangan. Masing-masing di antara kami telah memesan kopi. Dari awal saya pun sudah memprediksi. Pembahasan diskusi kali ini sepertinya akan serius.

Kopi hangat di gelas mulai diseruput. Sebatang rokok di antara jepitan jari pun dibakar dan dihisap. Kemudian, satu di antara kami ada yang memantik pembahasan. “Diskusi kita tempo hari yang lalu, ternyata mampu menarik perhatian banyak pihak,” kata salah satu sahabat saya.

Sebelumnya, kami memang sudah sering bertemu. Agendanya sama: berdiskusi. Pembahasan terakhir – sebelum yang sekarang – mengangkat isu sosial. Tak perlu saya sebut spesifikasi topiknya. Tetapi yang jelas, diskusi itu dianggap kontroversi. Padahal tidak sama sekali. Justru, ini mengarah pada upaya memperjuangkan hak kesejahteraan rakyat.

Saya pun mencoba untuk menganalisa secara serius. Mengapa diskusi kami dianggap kontroversi? Ternyata, sama sekali tidak ditemukan afirmasi rasional yang menguatkan. Kecuali, anggapan “Kontroversi” itu ditarik pada pendekatan kepentingan elit dan penguasa.

Dari diskusi isu sosial yang kami lakukan, sudah sempat ada rencana untuk dikawal lebih lanjut. Tetapi dalam perjalanannya, ada intervensi yang memberikan tekanan. Pun niat jihad kami tertunda: bukan gagal. Hingga detik ini, kami masih terus menyusun formulasi strategis untuk melanjutkan perjuangan.

Dalam hal intervensi terhadap gerakan kami, ada pernyataan yang cukup perih bagi saya. “Ansor tak perlu mengurus isu-isu lain, cukup fokus pada kegiatan keagamaan saja,” begitu kira-kira kalimat yang sampai ke telinga saya.

Hemat saya, pernyataan ini adalah bentuk dari upaya mendiskreditkan kelembagaan GP Ansor. Sebab, Ansor sebagai organisasi bagi pemuda Nahdliyin, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keutuhan bangsa, negara dan agama. Oleh sebab itu, perjuangan mengawal hak dan kesejahteraan rakyat juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalamnya.

Keberadaan Ansor, tidak cukup sekadar menggelar berzanji dan tahlilan semata. Tetapi, perlu ada langkah nyata yang manfaatnya menyentuh secara langsung terhadap masyarakat akar rumput. Terutama, bagi warga Nahdlyin.

Patut diakui, mayoritas Kader Ansor adalah pemuda terdidik dan berpendidikan. Seharusnya, bermodal pengetahuan yang dimiliki, hak-hak dan kesejahteraan sosial dapat diperjuangan sesuai cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kader Andor tidak bisa sekadar berdiri di atas menara gading mengamati problematika sosial. Atau, hanya menyampaikan khotbah kebaikan di atas mimbar. Sejatinya, Kader Ansor turun langsung ke tengah masyarakat untuk mengentaskan segala bentuk kebatilan.

Teringat pada diskusi kami kemarin malam. Ada banyak cara untuk mewujudkan kecintaan pada organisasi – Ansor. Mereka yang bergerak di bidang agenda keagamaan, tentu tidak salah. Sebab, hal demikian sudah menjadi budaya dan tradisi Nahdlyin yang mengakar kuat.

Sedangkan, mereka yang memilih jalan tengah dengan sekadar mengikuti kegiatan formal organisasi pun tidak keliru. Sebab kader seperti ini sangat dibutuhkan untuk merawat sistem keorganisasian.

Begitu pula dengan kader yang bergerak melalui kajian kritis dalam mengawal isu populis, tidak lantas harus dianggap kontroversi. Karena tujuannya tetap sama, yakni mengusung marwah organisasi. Bahkan memperjuangkan hak dan cita-cita berbangsa dan bernegara.

Jika pun harus ada yang disalahkan, mungkin mereka yang hanya ingin menitipkan kepentingan pribadinya melalui kebesaran nama Ansor atau bahkan Nahdlatul Ulama (NU). Entah, saya hanya bisa berharap, semoga tidak ada tipologi kader yang seperti itu.

Sebagai kader Ansor yang ingin terus mengabdi di NU, tentu saya pun memiliki cara sendiri untuk mewujudkan kecintaan pada organisasi. Semua itu dilakukan tanpa mencederai peraturan dan prinsip organisasi.

Betapa pun rumit dinamikanya, saya tidak merasa malu untuk disebut sebagai Kader Ansor Sayap Kiri. Semua itu akan dihadapi sepenuhnya. Tentu dengan kompleksitas konsekuensi yang akan terjadi. Tetapi yang jelas, ini adalah wujud dari kecintaan saya pada organisasi. Wallahu A’lam. (*)

*Penulis adalah Kader Ansor kelahiran Sumenep yang berdomisili di Dusun Bulu, Desa Pragaan Daya, Kecamatan Pragaan. Saat ini menjabat sebagai Koordinator Departemen Kajian Strategis PAC GP Ansor Kecamatan Pragaan. Sekaligus, menjabat sebagai Sekretaris Pengurus Ranting GP Ansor Desa Pragaan Daya.

Gus Ain
Gus Ain Menuntut ilmu adalah taqwa. Menyampaikan ilmu adalah ibadah. Mengulang-ulang ilmu adalah zikir. Mencari ilmu adalah jihad. - Abu Hamid Al Ghazali

Posting Komentar untuk "Ansor Sayap Kiri"