Tembakau: Antara Tambang Hijau dan Nestapa Petani
Tembakau: Antara Tambang Hijau dan Nestapa Petani
Indonesia berhutang besar pada petani tembakau. Tahun 2024, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau mencapai Rp. 216,9 triliun, angka yang mengungguli migas maupun dividen BUMN. Lebih dari separuhnya disumbang oleh Jawa Timur. Namun di balik angka raksasa itu, tersembunyi paradoks yang terus berulang: negara menikmati, petani merana.
Di Madura, hampir 100 ribu keluarga menggantungkan hidup pada tembakau. Pulau dengan tanah kering berbatu itu sudah sejak era kolonial menjadi salah satu basis tembakau rakyat. Pada masa Hindia Belanda, tembakau Madura dipasarkan ke Eropa karena kualitasnya yang khas untuk campuran rokok kretek. Sejak itulah tembakau menjadi denyut ekonomi lokal: membiayai pendidikan anak-anak, membangun rumah, hingga menjadi simbol kebanggaan masyarakat desa.
Namun, perjalanan panjang itu tidak sebanding dengan kesejahteraan yang diterima petani. Mereka tetap bekerja di ladang yang keras, menanggung risiko gagal panen akibat cuaca ekstrem, lalu menghadapi harga yang kerap jatuh karena permainan tengkulak. Di satu sisi, industri rokok besar menguasai rantai pasok, sementara di sisi lain, petani hanya bisa pasrah karena tidak memiliki kekuatan tawar yang cukup.
Lihatlah kisah Ahmad Hafid, petani di Sumenep. Setiap musim tanam ia harus berutang pupuk dan bibit kepada tengkulak, dengan perjanjian hasil panen akan dibeli kembali dengan harga yang ditentukan sepihak. Tahun lalu, ia berhasil memanen lebih dari satu ton tembakau kering. Namun ketika harga jatuh, seluruh hasilnya hanya cukup untuk membayar utang, tanpa sisa untuk kebutuhan keluarga. “Kalau tidak tanam tembakau, kami hidup dari apa lagi?” keluhnya. Kisah Pak Hafid bukan pengecualian, melainkan potret ribuan keluarga di Madura.
Di sisi lain, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang semestinya menjadi jalan keluar, ternyata tidak pernah benar-benar dirasakan petani. Dari total Rp 216,9 triliun penerimaan negara, hanya sekitar Rp4,3 triliun (sekitar 2 persen) yang dikembalikan ke daerah penghasil melalui skema DBHCHT. Ironisnya, lebih dari separuh dana itu justru terserap untuk pembiayaan program kesehatan dan birokrasi. Hanya sebagian kecil yang benar-benar menyentuh kebutuhan riil petani itupun tidak merata, seringkali sekadar program musiman tanpa dampak jangka panjang.
Padahal, kebutuhan mereka jelas: gudang penyimpanan yang mencegah permainan harga, subsidi pupuk agar biaya produksi ringan, koperasi desa yang kuat sebagai tandingan tengkulak, akses modal murah, serta jaminan harga minimum. Jika negara mau, instrumen kebijakan itu tersedia: asuransi gagal panen, relaksasi kredit, hingga penguatan kelembagaan petani.
Tanpa langkah konkret itu, tembakau hanya akan terus menjadi “tambang hijau” bagi kas negara, sementara petani tetap berkubang dalam lingkaran nestapa.
Tembakau tidak bisa dipandang semata sebagai komoditas fiskal. Ia adalah warisan sejarah, identitas budaya, dan denyut ekonomi rakyat kecil. Mengabaikan nasib petani sama saja dengan menutup mata terhadap keadilan sosial. Sudah saatnya negara hadir dengan keberpihakan yang nyata agar manisnya tembakau tidak hanya tercatat di neraca keuangan negara, tetapi juga di dapur para petani yang menanamnya.
Posting Komentar untuk "Tembakau: Antara Tambang Hijau dan Nestapa Petani"
Terima Kasih